BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses
Penyampaian Pesan Dakwah
Mengenai proses komunikasi
(penyampaian dan penerimaan) pesan dakwah dapat dijelaskan melalui
tahapan-tahapan, yaitu:
1. Penerimaan stimulus informasi
2. Pengolahan informasi
3. Penyimpanan informasi
4. Menghasilkan kembali suatu
informasi[1]
Sebagaimanadiungkapkan diatas, pesan dakwah
harus disampaikan dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahan yang
baik pula. Dakwah dengan hikmah telah ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir
sebagai perkataan yang tegas dan benar, hyang dapat membedakan antara yang hak
dan yang batil. Menurut Prof. Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori, kata hikmah
ini tidak hanya terbatas pada definisi tersebut. Hikmah dapat pula diartikan
sebagai penggunaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Dalam
tinjauan psikologi komunikasi, ada tiga faktor penting yang sangat menentukan
keberhasilan dakwah yaitu:
1. Pertama, yang menyampaiakan
dakwah (communicator)
2. Kedua, teknik penyampaian dakwah
(communocation)
3. Ketiga, siapa penerima pesan
dakwah (audience/objek dakwah)[2]
Menurut
Mc Guiere, salah satu penggagas teori perubahan sikap, sebagaiman yang dikutip
Ancok dan Nashori, proses perubahan sikap seseorang dari tidak tahu atau tidak
menerima suatu pesan ke menerima suatu pesan berlangsung melalui tiga peroses
di atas. Dimana setiap muslim wajib berdakwah kapan dan dimana saja, namun
berdakwapun meemrlukan menegemen dakwah apabila menghadapi suatu majelis atau
jamaah besar. Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebelum berdakwah adalah:
a. Langkah pertama
1) Menentukan topik dakwah
2) Men-setting tujuan akhir suatu
dakwah
3) Mengidentifikasi medan serta
khalayak yang akan menerima pesan dakwah
4) Memilih waktu yang paling tepat
untuk berdakwah
5) Mempersiapkan materi yang relevan
dan konsisten
b. Kedua, teknik penyajian dakwah
yang efektif
1) Topik dan waktu yang tepat,
berdasrkan permasalahan yang sedang terjadi di daerah tersebut
2) Analisa khalayak, yaitu
mengetahui siapakah pendengar kita (usia, tingkat pendidikan, dll) dan yang
penting juga diperhatikan adalah apakah obyek dakwah sudah terkena fikrah atau
belum
3) Memilih dan memilah meteri dakwah
4) Mempersiapkan alat peraga,
merupakan bentuk-bentuk visual yang diperlihatkan kepada khalayak, karena
melihat itu lebih efektif daripada mendengar. Menurut The Second Limited:
1) Efektivitas daya lihat 83%
2) Efektivitas daya Dengar 11%
3) Efektivitas daya Cium 3,5%
4) Efektivitas daya Raba 1,5%
5) Efektivitas daya Kecap (lidah) 1%[3]
Syeikh
Muhammad Abdul, sebagaimana dikutip Munir dalam bukunya Metode Dakwah,
mengatakan bahwa umat yang dihadapi seorang pendakwah secara garis besar dibagi
menjadi 3 golongan yang masing-masing harus dihadapi dengan cara yang
berbeda-beda pula:
1. Ada golongan cerdik cendekiawan
yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara keritis dan cepat dalam
menangkap arti persoalan. Mereka ini, harus dipanggil atau diseru dan diberi
nasihat dengan hikmah, yaitu dengan alasan-alasan, dengan dalil-dalil yang
dapat diterima oleh mereka.
2. Ada golongan awam, adalah orang
yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, juga belum dapat
menangkap pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini sebaiknya diseru/diberi
nasihat dengan cara mau’idlati hasanah atau dengan anjuran atau didikan yang
baik dan ajaran yang mudah dipahami.
3. Ada golongan yang tingkat
kecerdasannya diantara dua golongan tersebut, yaitu orang yang belum dapat
dicapai dengan hikmat, akan tetapi tidak sesuai juga bila dinasihati seperti
golongan orang awam. Mereka ini suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam
batas yang tertentu dan tidak sanggup mendalam benar. Merekaini sebaiknya
diseru/dinasehati dengan cara mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan cara
bertukar pikiran guna mendorong mereka supaya berpikir secara sehat dan dengan
cara yang lebih baik.[4]
B. Proses Penerimaan Pesan Dakwah
Proses
bagaimana Mad’u menerima informasi, mengolahnya, menyimpan, dan menghasilkan
informasi dalam psikologi komunikasi disebut sebagai Sistem Komunikasi Intra
Personal. Proses ini meliputi sensasi, persepsi, memori, dan berfikir.
a. Sensasi
Tahap awal dari penerimaan
informasi adalah sensasi. Sensasi berasal dari kata “sense”, artinya pengindraan yang menghubungkan organisme dengan
lingkungannya. Dalam psikologi komunikasi dijelaskan bahwa sensasi adalah proses
menangkap stimuli (rangsang).[5]
Fungsi alat indra dalam menerima
informasi dari lingkungan sangat penting. Melalui alat indra, manusia dapat
memahami kualitas fisik lingkungannya. Lebih dari itu melalui alat indralah
manusia memperoleh pengetahuan dan semua kemampuan untuk berinteraksi dengan
dunianya. Dalam kegiatan dakwah, ketika seorang Da’i tampil kemimbar, maka
stimuli yang ditangkap Mad’u pada awalnya adalah sosok tubuhnya (oleh indra
mata) kemudian setelah berpidato, Mad’u menangkap stimuli suaranya (oleh indra
pendengaran) dan seterusnya.[6]
b. Persepsi
Persepsi adalah pengalaman
tentang objek, peristiwa dan hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah proses memberi
makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Persepsi
mengubah sensasi menjadi informasi. Seperti juga halnya sensasi, persepsi
ditentukan oleh faktor personal dan situasional. David Krech dan Ricard S.
Cruthfield menyebutnya faktor fungsional dan faktor struktural.
Perhatian adalah proses mental di
mana kesadaran terhadap suatu stimuli yang lain lemah. Penarik perhatian bisa
datang dari luar (eksternal), bisa juga dari dalam diri yang bersangkutan
(internal). Faktor luar (eksternal) yang secara psikologis menarik perhatian
biasanya mempunyai sifat-sifat yang menonjol dibanding yang lain, misalnya
karena gerakan atau karena unsur kontras, kebaruan, atau pengulangan.
1) Faktor Eksternal (penarik
perhatian)
a) Prinsip Gerakan
Secara psikologis, benda kecil
yang bergerak-gerak pasti lebih menarik perhatiannya dibanding benda-benda
besar yang diam. Atas dasar prinsip ini, maka seorang orator atau mubalig
sering kali menggerak-gerakkan tangannya atau sesekali kepalanya ketika sedang
berpidato, karena dengan gerakan tangan itu perhatian pendengar tertuju
padanya.
b) Prinsip Kontras
Kita akan memperhatikan stimuli
yang lebih menonjol dari stimuli yang lain. Suara keras di tengah keheningan,
sorot lampu ditengah kegelapan, warna merah pada latar belakang putih pasti
menarik perhatian. Oleh karena itu, pidato ditengah kerumunan orang banyak
memerlukan pengeras suara, karena dalam hal ini suara mubalig menjadi kontras
mengalahkan suara obrolan orang banyak.
c) Prinsip Kebaruan
Segala sesuatu yang baru pasti
menarik perhatian manusia, orang baru, barang baru, dan juga ide baru. Hal-hal
yang baru menarik perhatian karena biasanya di dalamnya terkandung penilaian
hebat, luar biasa, berbeda dari biasanya, dan sebagainya.
Dalam hubungannya dengan dakwah,
seorang Da’i harus dapat tampil dengan mengetengahkan hal yang baru, berbeda
dan jika mungkin yang hebat untuk dapat menarik perhatian Mad’u. Kebaruan
sesuatu tidak mesti bersifat keseluruhan, tapi bisa juga barang lama dalam
kemasan baru, atau pendapat lama dengan ilustrasi yang baru.
d) Prinsip Perulangan
Secara psikologis, perulangan
mendengar, perulangan perjumpaan, dan pengulangan merasa dapat menjadi faktor
penarik perhatian, apalagi disertai sedikit variasi. Disini unsur “familiarity”
(yang sudah kita kenal) berpadu dengan unsur “novelty” (yang baru kita kenal).
Perulangan juga mengandung unsur sugesti, dimana dapat mempengaruhi bawah sadar
kita. Contoh yang paling mudah adalah berupa efektifnya iklan produk yang
ditayangkan berulang-ulang di televisi dalam menarik perhatian pembeli.
2) Faktor Internal (penaruh
perhatian)
a) Faktor Biologis
Orang lapar cenderung tertarik
perhatiannya kepada makanan, orang haus lebih tertarik pada minuman, sedangkan
orang yang kelelahan lebih tertarik perhatiannya kepada kursi atau tempat
tidur.
b) Faktor Sosiopsikologis
Sikap, kebiasaan, dan kemauan
seseorang biasanya mempengaruhi perhatiannya. Ketika rombongan dari Jakarta
terdiri dari ahli pertanian, dokter, dokter hewan, seniman, dan ulama
mengunjungi masyarakat pedalaman Irian Jaya, maka pusat perhatian mereka
ternyata berbeda.
c) Faktor Fungsional
Faktor fungsional yang
mempengaruhi persepsi berasal dari kebutuhan, kesiapan mental, suasana
emosional, dan latar belakang budaya. Seperti dua orang mahasiswa yang sedang
duduk dikantin, yang satu lapar yang lain haus. Yang pertama cenderung
mempersepsi isi etalase kanting sebagai nasi dan daging sedangkan yang satunya
cenderung mempersepsi spite dan coca cola.
d) Faktor Struktural
Menurut teori Gestalt, bila
seseorang mempersepsi sesuatu, maka ia mempersepsinya sebagai suatu
keseluruhan, bukan bagian-bagian. Misalnya ketika melihat wajah cantik wanita,
maka yang dipersepsi bukan hanya wajahnya, tapi keseluruhan tubuh sang gadis
karena wajah hanya merupakan bagian dari struktur tubuh.[7]
c. Memori
Salah satu kelebihan manusia
adalah kemampuan menyimpan informasi yang sangat banyak dalam waktu yang lama
dan dapat mengingat kembali. Jika komputer mampu menyimpan data yang untuk
suatu saat dapat dipanggil kembali, maka kemampuan manusia menyimpan informasi
(data) dan bagaimana mudahnya mengingat atau memanggil informasi itu sangat
canggih dibanding komputer.
Jadi, apa yang ditangkap
pancaindra (sensasi) kemudian diubah menjadi informasi (persepsi) selanjutnya
disimpan di dalam memori (ingatan). Dengan demikian memori adalah suatu sistem
yang sangat berstruktur yang menyababkan organisme sanggup merekam fakta
tentang dunia.[8]
1) Mekanisme Memori
Sudah lama orang ingin mengetahui
bagaimana cara kerja memori. Secara praktis,orang ingin mencari cara-cara untuk
mengefektifkan pekerjaan memori. Bukankah bila memori kita handal, kita dapat
menggunakannya sebagai arsip yang murah, praktis dan efisien. Tetapi memori
kita sering tidak berfungsi, kita sering lupa. Untuk mengetahui pekerjaan
memori, perlu melalui tiga tahap :
a) Perekaman informasi yang berasal
dari persepsi dicatat melalui jaringan saraf.
b) Penyimpanan informasi dalam
bentuk tertentu dalam waktu tertentu.
c) Penyimpanan bisa aktif atau
pasif. Kita menyimpan secara aktif, bila kita menambah informasi tambahan.
Mungkin secara pasif terjadi tanpa penambahan. Informasi ini berkembang terus,
bisajuga berkembang sendiri.
d) Pemanggilan atau mengingat
kembali apa yang telah disimpan baik sekedar terlintas atau memang sengaja
diingat-ingat karena informasi tersebut memang diperlukan.[9]
Kapasitas memori tiap orang
berbeda-beda, ada yang selalu mengingat sampai detail apa yang dialami puluhan
tahun yang lalu, ada yang cepat lupa, ada juga yang apabila memorinya mencatat
informasi baru, informasi lama terlupakan.[10]
d. Berpikir
Berpikir adalah suatu kegiatan
yang melibatkan penggunaan konsep dan lambang sebagai pengganti objek dan
peristiwa. Berpikir merupakan manipulasi atau organisasi unsur-unsur lingkungan
dengan menggunakan lambang-lambang,sehingga tidak perlu langsung melakukan
kegiatan yang tampak.
Berfikir merupakan proses keempat
setelah sensasi,persepsi,danmemori yang mempengaruhi penafsiran terhadap suatu
stimulasi.Dalam berfikir seseorang melibatkan sensasi,persepsi, dan memori
sekaligus.Dalam kehidupan,berfikir diperlukan untuk memecahkan persoalan,untuk
mengambil keputusan,dan untuk melahirkan sesuatu yang baru.Pola berfikir
manusia dapat diklarifikasikan menjadi tiga:
1) Metode berfikir realistis
a) Berfikir realistis
(nalar-nadzara) biasanya dibedakan menjadi dua metode:
1.
Metode
berfikir deduktif yang mengambil kesimpulan khusus dari pernyataan yang
bersifat umum.
2.
Metode
berfikir induktif yang dimulai dari pernyataan khusus untuk kemudian mengambil
kesimpulan umum atau mengambil kesimpulan umum dari pernyataan khusus.
Disamping
kedua metode tersebut masih ada metode lainnya yaitu metode berfikir evaluatif
yang artinya berfikir kritis,memilah-milah masalah,dan menilai apakah sesuatu
itu baik atau tidak,tepat atau tidak tepat.meskipun kemampuan berfikir kritis
atau kemampuan menggunakan metode berfikir itu merupakan ciri intelektualitas
seseorang,tetapi bukan berarti setiap orang inteleknya pasti berfikir logis.
1) Berfikir kreatif
Metode berfikir digunakan dengan
agar memperoleh rumusan atau kesimpulan yang benar atau keputusan yang
tepat,pemecahan masalah yang tepat atau penemuan yang valid. Meski demikian
untuk semua masalh dapat diselesaikan dengan metode berfikir yang konvensional.
Metode tertentu memang cocok untuk masalah tertentu dan tidak cocok untuk
masalah lain.
Untuk memecahkan persoalan yang
dilematis diperlukan cara berfikir kreatif. Berfikir kreatif adalah berfikir
dengan menggunakan metode baru, konsep baru, penemuan baru. Urgensi pemikiran
kreatif bukanlah pada kebaruannya tetapi pada relevansinya dengan pemecahan
masalh. Karena kebaruan dan tidak konvensionalnya metode berfikir kreatif, maka
orang yang kreatif sering sering tidak dipahami oleh orang kebanyakan atau
tidak jarang dianggap aneh atau gila.Proses berfikir kreatif menurut para
psikolog, melalui lima tahap:
a) Orientasi, yakni merumuskan dan
mengidentifikasi masalah.
b) Preparasi, yakni mengumpulkan
sebanyak mungkin informasi yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
c) Inkubasi, yaitu berhenti dulu
ketika menghadapi kesulitan mencari jalan pemecahan.
d) Iluminasi, yaitu mencari ilham.
e) Vertifikasi, yaitu menguji dan
menilai secara kritis pemecahan masalah yang dipikirkan.[11]
Timbulnya pemikiran kreatif di
samping didorong oleh kapasitas personal yang memang kreatif,juga dipengaruhi
oleh situasi kebudayaan yang melingkinginya. Ciri-ciri orang kreatif menurut
Colemen dan Hammen antara lain:
a) Kemampuan Kognitif: memiliki
kecerdasan rata-rata,kemampuan melahirkan gagasan baru,gagasan yang berlainan,dan
fleksibilitas kognitif.
b) Sikap yang terbuka, orang kreatif
mempersiapkan dirinya menerima stimuli internal dan eksternal serta memiliki
minat yangberagam dan luas.
c) Sikap yang bebas, otonom, dan
percaya diri, orang kreatif tidak senang “digiring”, dimana mereka ingin
menampilkan dirinya semampu dan semaunya,ia tidak terlalu terikat pada
konvensi-konvensi sosial. Mungkin
inilah sebabnya,orang-orang kreatif sering dianggap “nyentrik” atau gila .[12]
3) Berfikir dan bertafakur
(merenung)
Dalam pandangan Islam, berfikir
hanya diperbolehkan terhadap objek yang digambarkan dalam hati. Oleh karena
itu, nabi menyuruh umatnya akitif berfikir tentang tentang ciptaan Tuhan dan
melarang berfikir tentang Dzat Allah karena Dzat-Nya tidak mungkin dapat
digambarkan wujudnya oleh kapasitas akal manusia. Nabi mengingatkan bahwa
berfikir tentang sesuatu yang berada di luar kapasitas akal dapat mengakibatkan
bencana. Namun demikian bukan berari Al-Qur’an mengungkung akal, bahkan
sebaliknya Al-Qur’an sering menegur manusia karena kurang menggunakan
pikirannya. Sedangkan orang-orang yang suka merenung secara mendalam tentang
fenomena alam sebagai ciptaan Allah (zdikir dan berfikir) oleh Al-Qur’an diberi
gelar sebagai Ulul al-Bab.
Proses
pelaksanaan (penyampaian dan penerimaan) dakwah tidak terlepas dari faktor
bahasa sebagai salah satu alat komunikasi (penyampaian pesan dari Da’i kepada
Mad’u). Dalam kenyataannya ketika seorang Da’i terjun ke bidang dakwah, Da’i
akan bertemu dengan Mad’u dengan berbagai bahasa dan dialek yang berbeda antara
satu daerah dengan daerah yang lain.
Kerena
dalam proses dakwah Da’i akan berharap dengan Mad’u yang memiliki bahasa yang
beragam, maka seharusnyalah seorang Da’i mengenal bahkan menguasai bahasa Mad’u
tersebut agar komunikasi yang efektif dapat dicapai. Tanpa mengenal bahasa
Mad’u (sasaran dakwah), maka tugas Da’i sebagai penyampai ajaran Islam tidak
akan dapat terlaksana dengn baik. Sejarah telah membuktikan bahwa Allah selalu
mengangkat nabi dan rasul yang diperuntukkan untuk kaum dari kalangan kaum itu
sendiri yang memiliki bahasa yang sama.
Proses
tahap-tahap dalam proses penerimaan pesan dakwa sebagaimana telah disebutkan di
atas bahwa kalimat Da’watun dapat diartikan dengan undangan,seruan atau ajakan,
yang kesemuanya menunjukkan adanya komunikasi antara dua pihak dimana pihak
pertama (Da’i) berusaha menyampaikan informasi, mengajak dan mempengaruhi pihak
kedua (Mad’u).
Pengalaman
berdakwah menunjukkan ada orang yang cepat tanggap terhadap seruan dakwa ada
yang acuh tak acuh dan bahkan ada yang bukan hanya tidak mau menerima tetapi
juga melaean dan menyarang balik.
Proses
penyampaian dan penerimaan dakwah itu di lihat dari sudut psikologi tidaklah
sesederhana penyampaian pidato oleh Da’i dan di dengar oleh Mad’u,tetapi
mempunyai makna yang luas,meliputi penyampaian energi dalam sistem
syaraf,gelombang suara dan tanda-tanda. Ketika proses suatu dakwah
berlangsung,terjadilah penyampaian energi dari alat-alat indera ke otak,baik
dalam peristiwa penerimaan pesan dan pengolahan informasi,maupun pada proses
saling mempengaruhi dari kedua belah pihak.[13]
Menurut
teori komunikasi,proses dakwah dapat di lihat sebagai kegiatan psikologis yang
mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Pertama,diterimanya stimuli
(rangsang) oleh organ-organ penginderaan,berupa orang,pesan,warna atau aroma.
2. Kedua, rangsang yang diterima Mad’u
berupa-rupa,warna,suara,aroma dan pesan dakwah yang disampaikan oleh Da’i. Kemudian
diolah dalam benak Mad’u (hadirin), dihubung-hubungkan dengan pengalaman masa
lalu masing-masing disimpulkan oleh masing-masing.meskipun peasn dakwah oleh
Da’i itu di maksudkan A, tapi kesimpulan Mad’u boleh jadi B, C atau D.
3. Ketiga untuk merespon tahapan
ceramah atau seruan ajakan Da’i (misalnya tepuk tangan, berteriak, mengantuk
atau kerena bosan kemudian meninggalkan ruangan), pikiran hadirin bekerja,
mengingat-ingat apa yang pernah terjadi dimasa lalu. Dari memori itu para
hadirin kemudian meramalkan bahwa jika hadirin melakukan tindakan X, maka Da’i
akan melakukan tindakan Y. Jika X maka Y.
4. Keempat, setelah itu barulah akan
merespon terhadap ajakan Da’i, dan respon dari hadirin itu merupakan umpan
balik bagi Da’i.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Proses
penyampaian pesan dakwah
a. Langkah pertama
1) Menentukan topik dakwah
2)
Men-setting
tujuan akhir suatu dakwah
3)
Mengidentifikasi
medan serta khalayak yang akan menerima pesan dakwah
4)
Memilih
waktu yang paling tepat untuk berdakwah
5)
Mempersiapkan
materi yang relevan dan konsisten
b. Kedua, teknik penyajian dakwah
yang efektif
1) Topik dan waktu yang tepat.
2) Analisa khalayak.
3) Memilih dan memilah meteri dakwah.
4) Mempersiapkan alat peraga.
Tahap-tahap
dalam proses penerimaan pesan dakwah sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa
kalimat Da’watun dapat diartikan dengan undangan, seruan atau ajakan, yang
kesemuanya menunjukkan adanya komunikasi antara dua pihak dimana pihak pertama
(Da’i) berusaha menyampaikan informasi, mengajak dan mempengaruhi pihak kedua
(Mad’u).
2. Proses
penerimaan pesan dakwah
a. Sensasi
b. Persepsi
c. Memori
d. Berpikir
Ketika
proses suatu dakwah berlangsung, terjadilah penyampaian energi dari alat-alat
indera ke otak, baik dalam peristiwa penerimaan pesan dan pengolahan informasi,
maupun pada proses saling mempengaruhi dari kedua belah pihak. Proses dakwah dapat di lihat
sebagai kegiatan psikologis yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Pertama, diterimanya stimuli
(rangsang) oleh organ-organ penginderaan.
2. Kedua, rangsang yang diterima
Mad’u berupa-rupa, warna, suara, aroma dan pesan dakwah yang disampaikan oleh
Da’i. Kemudian diolah dalam benak Mad’u (hadirin).
Ketiga untuk merespon tahapan
ceramah atau seruan ajakan Da’i (misalnya tepuk tangan, berteriak, mengantuk
atau kerena bosan kemudian meninggalkan ruangan).
[1]B.A. Fisher. Prespectives On Human Communication. Mac-millan
Publishing: New York. 1978. Hlm 136-142
[2]DjamaludinAncok dan Fuad Anshori. Psikologi
Islam, Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi. Pustaka Belajar:
Yogyakarta. 1994. Hlm 125-128
[3]M.Syafa’atHabib. Buku Pedoman Dakwah. Penerbit Widjaya: Jakarta.
1982. Hlm 48
[4]JamaludinMunir. Psikologi Dakwah, edisi revisi-cetakan ke-2.
Kencana: Jakarta. 2006. Hlm 26
[6] JalaludinRahmat. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya:
Bandung. 1985. Hlm 49
[7] Ibid. Hlm 51-55
[8]AchmadMubarok. Psikologi Dakwah. Pustaka Firdaus: Jakarta .
1999. hlm 76
[9] JalaludinRahmat. Psikologi Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya:
Bandung. 1985. Hlm 64-65
[10]AchmadMubarok. Psikologi Dakwah. Pustaka Firdaus: Jakarta .
1999. hlm 79
[11] Ibid. Hlm 155-158
[12]M. BahriGhazali. Dakwah Komunikatif. CV Pedoman Ilmu Jaya:
Jakarta. 1997. Hlm 32
[13]JamaludinKafie. Psikologi Dakwah.
Indah Penerbit: Surabaya. 1993. Hal 69
[14]AsmuniSyukir. Dasar-dasar
Strategi Dakwah Islam. Al-Ikhlas: Surabaya. 1972. Hal 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar